Dinamika Keluarga
Keluarga tak ubahnya seperti negara. Ada pimpinan, menteri, rakyat, kebijakan, dan aturan. Layaknya negara, dinamika politik keluarga pun mesti dinamis. Karena dengan begitulah, keluarga menjadi hidup, hangat, dan produktif.
Indahnya hidup berkeluarga. Di situlah orang belajar banyak tentang berbagai hal. Mulai masalah pendidikan, hubungan sosial antar anggota keluarga, ekonomi, pertahanan, komunikasi, organisasi, dan politik. Mungkin, itulah sebabnya, orang yang sukses dalam berkeluarga, insya Allah, akan sukses berkiprah di masyarakat. Bahkan, negara dan dunia.
Ada empat aspek yang selalu muncul dalam dinamika keluarga. Pertama, tiap anggota keluarga memiliki perasaan dan idea tentang diri sendiri yang biasa dikenal dengan harga diri atau self-esteem. Kedua, tiap keluarga memiliki cara tertentu untuk menyampaikan pendapat dan pikiran mereka yang dikenal dengan komunikasi. Ketiga, tiap keluarga memiliki aturan permainan yang mengatur bagaimana mereka seharusnya merasa dan bertindak yang selanjutnya berkembang sebagai sebuah sistem nilai keluarga. Yang terakhir, tiap keluarga memiliki cara dalam berhubungan dengan orang luar dan institusi di luar keluarga yang dikenal sebagai jalur ke masyarakat.
Cuma masalahnya, tidak semua pimpinan keluarga peka dengan dinamika yang ada. Kadang juga terlalu tegang menyikapi kesenjangan antara idealita dengan realita. Ketidakpekaan dan ketegangan inilah yang kerap membuat dinamika keluarga menjadi redup. Para anggota menjadi ikut kikuk, bungkam, dan takut.
Setidaknya, itulah yang kini dirasakan Pak Deden. Bapak lima anak ini mestinya bahagia dengan anugerah Allah berupa isteri shalihah dan anak-anak yang sehat dan cerdas. Tapi, entah kenapa ia agak bingung menatap perkembangan bawahannya.
Itu terjadi ketika beberapa masalah tidak sampai ke telinganya. Ia justru baru tahu setelah beberapa tetangga cerita. Masalah rapot sekolah anak-anaknya, misalnya. Pak Deden baru tahu ada pengambilan rapot ketika seorang tetangga menyapa. “Gimana rapot anak-anak, Pak Deden?” suara seorang bapak ketika Pak Deden mau berangkat ke kantor. Apa, rapot? Pak Deden terhenyak.
Lebih parah lagi, ketika Pak Deden mendapati kenyataan kalau anak-anaknya belum bisa terima rapot. Alasannya begitu sederhana. Ada beberapa pembayaran sekolah yang belum lunas. Lha, kenapa ia tidak tahu. Kenapa tak seorang pun yang menyampaikan masalah penting itu. Termasuk, isteri tercintanya.
Ada pemandangan lain yang tidak asing buat tetangga Pak Deden. Di sekitar rumah Pak Deden, banyak anak-anak bermain. Ada yang bersepeda, main bola, berkejar-kejaran, main petak umpet, dan lompat tali. Suara hiruk pikuk teriakan anak-anak begitu menderu meramaikan perkampungan rumah Pak Deden. Tapi, cuma ada satu pengecualian. Para tetangga nyaris tak pernah menemukan anak-anak Pak Deden membaur dalam permainan itu. Alasannya? Mereka mendengar kalau Pak Deden begitu ketat soal aturan bermain anak-anak: kalau nggak ada hubungan dengan pelajaran sekolah, bermain bisa di rumah. Titik.
Di satu sisi, para tetangga boleh heran dengan aturan Pak Deden tadi. Tapi, mereka juga dibuat kagum dengan kenyataan yang ada. Anak-anak Pak Deden kalem-kalem. Jarang bicara, tenang, tidak pernah blingsatan. Mereka pendiam. Ritme hidupnya begitu teratur. Pagi berangkat sekolah, pulang sekolah tidur siang, mandi sore, belajar, makan sore, shalat Maghrib, ngaji, shalat Isya, belajar, dan kemudian tidur. Kecuali hari Ahad mereka tampak bisa bermain keluar rumah. Itu pun tak lebih dari satu jam. Selebihnya, bermain di rumah atau nonton tivi.
Kalau ada yang bertamu ke rumah Pak Deden, pasti akan mengira kalau rumah yang sedang dikunjungi tidak punya anak, atau anak-anaknya sedang pergi. Karena suasana rumah itu begitu tenang, nyaris tanpa teriak dan celoteh anak-anak. Padahal, anak-anak Pak Deden ada di ruang lain. Karena begitulah aturannya: kalau ada tamu, tak boleh diganggu.
Lalu, apa semua itu yang jadi sebab komunikasi macet. Apa aturan-aturan ketat itu yang menjadikan keluarga Pak Deden terasa ‘aneh’ di mata tetangga-tetangganya. Gelap. Pak Deden bingung sendiri.
Sebelumnya, ia yakin betul kalau aturan dan dinamika keluarganya begitu istimewa. Tenang. Teratur. Bahkan, ia sempat terheran-heran dengan pemandangan unik keluarga teman kerjanya. Bayangkan, buat menentukan menu sarapan saja, suara riuh anak-anak rekannya itu terdengar nyaring bersahut-sahutan, “Saya nasi goreng! Mie goreng! Nasi uduk! Ketupat sayur!” Sungguh, sebuah pemandangan yang nyaris tak pernah terjadi di keluarga Pak Deden.
Ada satu lagi yang sulit terlupakan buat Pak Deden. Anak-anak rekan kerjanya itu begitu bebas memilih kendaraan pergi ke sekolah. Padahal, mereka masih sekolah dasar. Ada yang naik bus, bersepeda, jalan kaki. Apa nggak bahaya. Apa nggak sebaiknya diantar. Apa nggak…? Sederet kekhawatiran Pak Deden tiba-tiba menyeruak.
Pemandangan itu mengingatkan Pak Deden dengan anak-anak di rumah. Dari lima anak, cuma si sulung yang bisa naik sepeda. Selebihnya, belum berani. Pak Deden takut kalau terjadi apa-apa dengan anak-anaknya. Ia pernah dengar, anak tetangganya terjatuh hingga patah tulang tangan ketika belajar sepeda.
Pemandangan itu mengingatkan Pak Deden dengan anak-anak di rumah. Dari lima anak, cuma si sulung yang bisa naik sepeda. Selebihnya, belum berani. Pak Deden takut kalau terjadi apa-apa dengan anak-anaknya. Ia pernah dengar, anak tetangganya terjatuh hingga patah tulang tangan ketika belajar sepeda.
Sang teman begitu enteng bicara ketika Pak Deden menanyakan ‘kebebasan’ anak-anak rekannya itu, “Hidup ini perjuangan, Den. Hadapi, jangan lari!”
Ah, perlu banyak hal buat Pak Deden untuk menemukan pilihan-pilihan lain dari sebuah aturan. Bagaimana pun, diam itu tak sehat. Banyak penyakit yang mengendap. Perlu ada terobosan agar gairah keluarganya bisa lebih hidup. Dinamis. Agar tidak ada lagi kesunyian-kesunyian yang dipaksakan.