ALL LOGO

ALL LOGO

Minggu, 22 Juli 2012

KARAWITAN Di DESA SUMBEREJO KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI


KARAWITAN Di DESA SUMBEREJO KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI

Studi Kasus Tentang Karawitan Di Desa Sumberejo Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri




   Disusun Oleh :

Nama : Laga Sadewa
No. Absen      : 13
Kelas   : XII
Program         : Ips I



SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO
2012
KARAWITAN Di DESA SUMBEREJO KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI

Studi Kasus Tentang Karawitan Di Desa Sambirejo Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri



KARYA TULIS
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Nasional
Di SMA Negeri 1 Slogohimo

   Disusun Oleh :
Nama : Laga Sadewa
No. Absen      : 13
Kelas   : XII
Program         : Ips I


SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO
2012
KARAWITAN Di DESA SUMBEREJO KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI

Studi Kasus Tentang Karawitan Di Desa Sumberejo Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Diajukan Oleh :
Laga Sadewa
No. Absen 13

Mengetahui
Dewan Pembimbing
          Jabatan                          Nama               Tanda Tangan             Tanggal



Pembimbing I              Soprapto, S.Sos.M.Pd ____________            ___________
                               Nip 19200202 200212 1 009


Pembimbing II            Dra, Heny Rahayu      ____________            ____________
                               Nip 19621025 199512 2 002
Slogohimo,      Januari 2012
Mengesahkan
Kepala SMA Negeri 1 Slogohimo                              Koordinator Karya Tulis



Dra. Yuli Bangun Nursanti, M.Pd                          Heru Purwanto, S.Pd
NIP 19640720 199512 2 003                                     NIP 19730620 200701 1 008
MOTTO

Motto :
  1. Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan – kesalahan, tetapi jadikan penyesalan itu sebagai senjata untuk masa depan agar tidak terjadi kesalahan lagi.
  2. Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasinya adalah sesuatu yang utama.
  3. Jalan terbaik dalam mencari kawan adalah kita harus berlaku sebagai kawan.
  4. pusaka untuk anak – anak kita.
  5. Bukan harta kekayaanlah, tetapi budi pekerti yang harus ditingalkan sebagai
  6. Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)
  7. Hanya kebodohan meremehkan pendidikan. ( P.Syrus )
  8. Ketergesaan dalam setiap usaha membawa kegagalan. (Herodotus )
  9. Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri. (Ibu Kartini )
  10. Ceroboh dan tidak bisa menahan emosi adalah sikap yang bisa berakibat fatal.

PERSEMBAHAN












Persembahan
Karya tulis penulis persembahkan :
1.       Ayah dan Ibu tercinta
2.       Adik dan Kakak tersayang
3.       Almamater SMA Negeri 1 Slogohimo
4.       Para pembaca yang budiman










KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Karya tulis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mengikuti Ujian Nasional di SMA Negeri 1 Slogohimo. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Dra. Yuli Bangun Nursanti, M.Pd, Kepala SMA Negeri 1 Slogohimo yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menempuh pendidikan di sekolah ini.
  2. Soprapto, S.Sos.M.Pd Pembimbing I yang telah memberikan saran – saran, pengarahan dan bimbingannya dalam penyempurnaan karya tulis ini.
  3. Dra, Heni Rahayu Pembimbing II yang telah memberikan saran-saran, pengarahan karya tulis ini.
  4. Bapak/Ibu dan saudara-saudara di rumah yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam penyelesaian studi.
  5. Teman-teman yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam penyelesaian studi.
  6. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian karya tulis ini.
Semoga segala bantuan, saran, serta pengarahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan setimpal dari Allah SWT, Amin.Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak sekali kekurangannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran-saran pembaca untuk kebaikan.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi dunia pendidikan.
Slogohimo,      2012
           
Penulis
 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kesenian merupakan sebuah hasil maha karya manusia yang tidak bisa terlepas dari kehidupannya. Dari seni, akan tercipta sebuah keharmonisan dan kenikmatan, baik secara fisik maupun batiniah. Seni merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat dengan perkembangan manusia yang berubah, seperti di era saat ini, era globalisasi.
Seni tradisional merupakan seni asli daerah yang sepatutnya kita lestarikan, dan dewasa ini kita harus selektif terhadap berbagai seni modern yang sudah mengandung unsur kebarat-baratan. Cara yang sepatutnya kita lakukan ialah selalu menggunakan seni tradisional tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh kesenian tradisional yang dewasa ini mulai redup adalah karawitan. Sebuah seni tradisional asli jawa yang dalam permainannya memadukan seni vokal dan seni instrumental. Seni tersebut memang memiliki keunikan tersendiri, seni ini bisa dikatakan sebagai center dari seni lain, karena karawitan dapat menggabung dengan seni lain semisal seni jaranan. Di Sumberejo pelestarian karawitan mulai Nampak, semisal terdapat beberapa paguyuban karawitan dan kesenian karawitan mulai dijadikan salah satu  ekstrakulikuler di berbagai sekolah di Jatisrono.

B.     Pembatasan Masalah
Penelitian ini agar lebih terfokus dalam pembahasannya penulis mencoba membatasi masalah mengenai Karawitan Di Desa Sumberejo Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.



C.    Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Apa pengertian Seni Musik Karawitan ?
  2. Bagaimana hubungan antara kesenian karawitan dengan masyarakat ?
  3. Apa fungsi kesenian karawitan ?
  4. Bagaimana perkembangan kesenian karawitan ?

D.    Tujuan Penelitian
  1. Tujuan umum penelitian :
a.       Dapat dijadikan bahan bagi penelitian serupa
  1. Tujuan khusus penelitian :
a.       Memenuhi tugas penyusunan makalah, dari mata pelajaran kesenian.
b.      Menamah pengetahuan mengenai kesenian tradisional, khususnya karawitan
c.       Meningkatkan kreatifitas dan daya imajinasi siswa dalam menyusun makalah ini.
d.      Menanamkan rasa bangga terhadap kesenian Indonesia terutama dari daerah jawa
e.       Ikut serta dalam upaya pelestarian kesenian

E.     Manfaat Penelitian
  1. Dengan disusunnya makalah ini, akan memberikan wawasan dan pengetahuan tentang kesenian tradisional khususnya kesenian karawitan.
  2. Dapat dijadikan pengetahuan bagi masyarakat.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Asal Usul Karawitan
Pada mulanya, nama karawitan diambil dari kata rawit yang berarti kecil, halus atau rumit. Dilingkungan Keraton Surakarta, istilah karawitan pernah digunakan  sebagai kesenian, seperti tatah sungging, ukir, tari hingga pedhalangan.
istilah karawitan biasa digunakan untuk merujuk kesenian gamelan yang banyak dimainkan oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan tidak hanya penggunaannya, tetapi juga pemaknaanya. Kata karawitan dipakai untuk mengacu pada alat musik gamelan, alat musik tradisional Indonesia yang berlaras slendro dan pelog.
Karawitan dikenal sejak jaman Kalingga, pada jaman raja Syailendra. Tentu saja peralatannya (ricikan) masih sangat sederhana. Intonasi nada yang ada masih sederhana pula. Sejak jaman Syailendra itulah dikenal alat musik tradisional (gamelan), yang sampai sekarang dikenal dengan gamelan Slendro, dalam satu oktaf dibagi 5 nada, yaitu : 1,  2,  3,  5,  6.
Pada jaman Majapahit, seni karawitan telah berkembang dengan baik, walaupun peralatannya masih sangat sederhana. Gamelan berlaras Slendro telah dikembangkan pula dengan gamelan laras Pelog, yang dalam satu oktaf dibagi 7 nada, yaitu : 1, 2, 3, 4,  5, 6, 7.
Pada jaman Mataram, dua jenis gamelan yang masih sangat sederhana tersebut mulai dilengkapi dengan alat (ricikan) baru sebagai penunjangnya, sehingga ricikan lebih banyak dan lengkap seperti yang ada sekarang ini.
Pada jaman Mataram ini pula, dua jenis gamelan tersebut (Pelog dan Slendro), disatukan menjadi satu satuan musik yang saling berkaitan dan saling melengkapi.
Pada jaman dahulu Karawitan hanya tumbuh dan dikembangkan di dalam lingkungan keraton. Bahkan para bangsawan dan kerabat Keraton boleh dikatakan wajib menguasai bidang Karawitan, Tembang dan Tari.
Bagi masyarakat luas yang tinggal di luar keraton tidak dapat mempelajari Karawitan dengan metoda menabuh Gamelan yang baik dan benar. Dengan semangat yang tinggi, mereka belajar sendiri sesuai dengan suara Gamelan yang pernah didengarnya dari dalam Keraton. Karawitan yang tidak memakai metode menabuh yang baik dan benar ini, disebut Karawitan Alam. Pada jaman sekarang, Keraton bukanlah satu-satunya sumber pengembangan seni karawitan. Untuk mengembangkan seni karawitan, telah banyak didirikan pendidikan formal seperti PMKT, STSI yang memberikan pedoman dan Metoda Karawitan yang baik dan benar.
Pengembangan seni karawitan dapat pula dilakukan melalui Radio, TV dan media elektronik lainnya. Disamping itu telah banyak pula kelompok-kelompok Karawitan yang telah mampu mengembangkan karawitan dengan baik dan benar. Oleh karena itu sangatlah disayangkan kalau masih ada Karawitan Alam yang tidak mau mengikuti metode menabuh gamelan yang benar.
Pada jaman serba modern sekarang ini, banyak yang ingin mengambangkan Musik Gamelan (diatonis) dengan musik pentatonis. Namun perpaduan dua jenis musik tersebut masih bersifat kreatif saja, belum dapat dijadikan suatu musik baru, karena keduanya tidak dapat difungsikan mutlak secara bersama-sama.

B.     Fungsi Karawitan
Karawitan merupakan peninggalan leluhur yang sangat berharga. Selain sebagai bentuk seni yang tinggi, karawitan juga mempunyai fungsi dalam lingkup kemasyarakatan. Karawitan yang ditampilkan di dalam upacara adat dapat berdampak positif kepada para pemain dan penontonnya. Adapun dampak positif yang dapat tumbuh dari pagelaran karawitan, yaitu :
§   Menumbuhkan rasa kekeluargaan,
§   Menanamkan nila-nilai luhur,
§   Menghilangkan sifat brutal,
§   Menambah kreativitas,
§   Memupuk kerja sama, dan
§   Menghibur serta menghilangkan rasa gundah atas kehidupan.

Dilihat dari cara penyajiannya, karawitan mempunyai tiga fungsi, yaitu ungkapan jiwa, apresiasi, dan hiburan.

1.      Ungkapan Jiwa
Fungsi ungkapan jiwa digunakan oleh seniman untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam jiwanya.

2.      Apresiasi
Fungsi apresiasi tumbuh ketika penonton telah selesai melihat pergelaran karawitan. Akan muncul di benak penonton sebuah pengalaman baru setelah melihat pergelaran tersebut.

3.      Hiburan
Karawitan dapat berfungsi sebagai hiburan jika seseorang dapat terhibur dan senang ketika memainkan atau melihat pergelaran karawitan.
Selain tiga fungsi yang telah diuraikan di atas, ada pula fungsi fungsional yang terdapat dalam karawitan, di antaranya sebagai musik pengiring, sosial, dan komersial.

4.      Musik Pengiring
Karawitan berfungsi sebagai musik pengiring bila kedudukannya hanya menjadi salah satu bagian dari seluruh pergelaran. Dengan kata lain, ada fungsi yang lebih penting selain tujuan dari karawitan.


5.      Sosial
Tidak sedikit sajian karawitan yang difungsikan sebagai sarana untuk tujuan sosial, seperti pendidikan, penerangan, kampanye politik, agama, dan lain-lain. Hal ini tak lain untuk mempengaruhi jiwa atau mengubah pikiran yang mendengarkannya.

6.      Komersial
Seiring kemajuan zaman dan kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat, karawitan tidak hanya dimainkan untuk memenuhi kepuasan yang bersifat batiniah atau spiritual semata, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah atau materi. Dengan kata lain, para seniman menggeluti profesi karawitan untuk mendatangkan penghasilan.

C.    Mengenal Seni Karawitan
Kata karawitan berasal dari kata rawit yang artinya halus, lembut, lungit. Karawitan artinya kehalusan rasa yang diwujudkan dalam seni gamelan. Karawitan/ gamelan dapat berdiri sendiri ataupun mengiringi seni pedhalangan, seni vokal, atau seni tari.

a. Titilaras
Titi             : tanda/tulisan
Laras         : nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya (frekuensi) dalam satu gembyang (oktaf).
Jadi, Titilaras adalah notasi atau tulisan untuk menginterpretasikan nada–nada yang sudah tertentu urutan tinggi rendahnya dalam satu gembyang (oktaf).
Dalam karawitan Jawa terdapat dua macam titilaras, yakni :

1. Titilaras Slendro
Terdiri dari lima nada untuk satu oktaf. Nada-nada tersebut adalah :
Panunggul : 1 = ji (siji)
Gulu          : 2 = ro (loro)
Dhadha                 : 3 = lu (telu)
Lima          : 5 = ma (lima)
Nem          : 6 = nem (nem)
Jarak frekuensi (interval) dari dua nada laras slendro berturut–turut adalah konstan.

2. Titilaras Pelog
Terdiri dari tujuh nada untuk satu oktaf. Nada–nada tersebut adalah:
Panunggul             : 1 = ji (siji)
Gulu                      : 2 = ro (loro)
Dhadha                 : 3 = lu (telu)
Pelog                     : 4 = pat (papat)
Lima                      : 5 = ma (lima)
Nem                      : 6 = nem (nem)
Barang                   : 7 = pi (pitu)
Jarak frekuensi (interval) dari dua nada laras slendro berturut–turut tidaklah konstan, melainkan mirip dengan nada diatonis (internasional).

b. Pathet
Dalam karawitan Jawa dikenal adanya istilah pathet. Sampai saat ini belum ada definisiyang pasti mengenai makna pathet. Sementara orang mendefinisikan pathet sebagaisusunan yang dapat memberikan suasana tertentu bagi pendengar. Pembagian pathetdalam karawitan Jawa adalah:

1. Laras Slendro
Ada tiga macam, yaitu:
a. Pathet Nem
b. Pathet Sanga
c. Pathet Manyura

2. Laras Pelog
Dibagi menjadi tiga macam pathet, yaitu:
a. Pelog Pathet Lima
b. Pelog Pathet Nem
c. Pelog Pathet Barang
Penjelasan tentang pathet ini akan memakan waktu yang sangat panjang. Karena itu soal pathet tidak dibahas panjang lebar di sini.
Secara umum nada–nada yang digunakan untuk Laras Slendro adalah :
a. Slendro Pathet Nem                        : 2 3 5 6 1  : jatuh gong pada nada 2
b. Slendro Pathet Sanga          : 5 6 1 2 3  : jatuh gong pada nada 5
c. Slendro Pathet Manyura     : 6 1 2 3 5 : jatuh gong pada nada 6
Sedangkan untuk laras pelog :
a. Pelog Pathet Lima               : 1 2 4 5 6: jatuh gong pada nada 5
b. Pelog Pathet Nem               : 1 2 3 5 6: jatuh gong pada nada 2
c. Pelog Pathet Barang            : 7 2 3 5 6: jatuh gong pada nada 6
Ada lagi ciri umum untuk laras pelog yaitu :
- Pelog Pathet Lima jarang menggunakan nada 3 dan 7.
- Pelog Pathet Nem jarang menggunakan nada 4 dan 7.
- Pelog Pathet Barang jarang menggunakan nada 1 dan 4.
Namun demikian dalam prakteknya nanti ada banyak gendhing/ lagu yang tidakmemenuhi ketentuan di atas. Dan di sini dikenal adanya nada dan pathet silihan(pinjaman).

c. Irama
Secara umum irama menyatakan perbandingan pukulan saron penerus (peking)terhadap pukulan/ sabetan balungan lain. Ada beberapa macam irama yaitu :
1. Irama Lancar        : Perbandingan pukulan/ sabetan balungan lain terhadap saron penerus adalah 1 : 1
2. Irama Tanggung   : Perbandingan pukulan/ sabetan balungan lain terhadap saron penerus adalah 1 : 2
3. Irama Dados        : Perbandingan pukulan/ sabetan balungan lain terhadap saron penerus adalah 1 : 4
4. Irama Wiled         : Perbandingan pukulan/ sabetan balungan lain terhadap saron penerus adalah 1 : 8
5. Irama Wiled         : RangkepPerbandingan pukulan/ sabetan balungan lain terhadap saron penerus adalah 1 : 16

D.    Jenis-jenis Karawitan
Ditinjau dari cara penyajiannya, karawitan dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu Karawitan Sekar (vokal), Karawitan Gending (instrumen), dan Karawitan Sekar Gending (campuran).

1. Karawitan Vokal (sekar)
sesuai namanya, penyajian dalam Karawitan Sekar lebih mengutamakan unsur vokal atau suara. Bagus tidaknya penampilan Karawitan Sekar sangat bergantung pada kelihaian sang vokalis ketika melantunkan “sekarnya”.
Apa itu sekar? Sekar adalah pengolahan vokal yang khusus dilakukan untuk menimbulkan rasa seni yang erat berhubungan dengan indra pendengaran. Sekar erat bersentuhan dengan nada, bunyi atau alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab berdampingan.
Sekar berbeda dengan bicara biasa. Lantunan sekar mempunyai citrarasa seni yang sangat dalam. Meskipun demikian, sekar sangat dekat dengan ragam bicara atau dialek, seperti sekar sunda yang dekat dengan dialek Cianjur, Garut, Ciamis, Majalengka, dan sebagainya.



2. Karawitan Gending (Instrumen)
Berbeda dengan Karawitan Sekar, Karawitan Gending lebih mengutamakan unsur instrumen atau alat musik dalam penyajiannya. Macam-macam alat gending dalam karawitan cukup banyak, diantaranya adalah gomg, gendang, kleneng, sinter, gambling, dan sebagainya.

3. Karawitan Sekar Gending (campuran)
Karawitan Sekar Gending merupakan salah satu bentuk kesenian gabungan antara Karawitan Sekar dan Gending. Dalam penyajiannya, karawitan ini tidak hanya menampilkan salah satu di antara keduanya, tetapi juga kedua karawitan ini ditampilkan secara bersama-sama agar menghasilkan karawitan yang bagus.
Adapun yang termasuk dalam penyajian  Karawitan Sekar Gending di antaranya adalah degung kawih, kliningan, celempungan, kecapi kawih, dan gending karesmen.

E.     Alat Musik yang Digunakan
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik diantaranya; kendang, rebab, Siter, gambang, kempul, gong, bonang, kenong, gender, slenthem, saron, siter, dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Cara bermain gamelan mayoritas dengan cara dipukul hanya beberapa alat saja yang berbeda yaitu dengan cara digesek, tiup dan petik.
Gamelan Jawa terbagi menjadi dua laras atau tuning yang berbeda yakni laras Slendro dan laras Pelog. Laras adalah susunan nada-nada dalam satu gembyangan (oktaf) yang sudah tertentu tinggi rendah dan tata intervalnya. Laras Slendro terdiri dari 5 nada, sedangkan Laras Pelog dibagi menjadi 7 deret nada. Gamelan disajikan sebagai iringan wayang atau sebagai sajian karawitan bebas atau klenengan atau konser gamelan. Para penabuh gamelan disebut Niyogo, beberapa penyanyi wanita yang disebut Pesinden dan beberapa penyanyi pria yang disebut Wira Swara juga merupakan bagian dari suatu sajian gamelan untuk mengiiringi wayang atau klenengan.
Dalam sajian karawitan tradisi, ricikan kendang berfungsi sebagai pengatur atau pengendali (pamurba) irama lagu/gending. Cepat lambatnya perjalanan dan perubahan ritme gending-gending tergantung pada pemain kendang yang disebut pengendang.







BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.          Metode Penelitian

  1. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah Kesenian Karawitan di Desa Sumberejo, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri

  1. Lokasi Penelitian
Lokasi ditetapkan di Desa Sumberejo Rt 04 / Rw 01, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri.

  1. Metode pengumpulan Data

a.      Metode Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pustaka yaitu dengan mengkaji berbagai artikel yang relevan dengan objek penelitian melalui internet.


BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A.    Seni Karawitan dan Masyarakat
Seni dan masyarakat ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan, membutuhkan. Perubahan di satu sisi akan berpengaruh terhadap sisi lainnya. Demikian juga yang berlaku pada seni karawitan. Perkembangannya sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Sehingga saat ini munculah berbagai macam bentuk pertunjukan dengan latar belakang seni karawitan, seperti campursari, kolaborasi musik diatonis dan pentatonis, karawitan modern, maupun kontemporer. 
Dewasa ini sebagaian besar masyarakat menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “. Salah satu akibatnya adalah kemasan suatu bentuk seni harus beorientasi pada konsep hidup tersebut. Dalam seni karawitan tradisi, perubahan yang terjadi ditandai dengan semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan. 
Dahulu orang akan dengan santainya mendengarkan gending-gending klasik yang berdurasi lama, disertai dengan minum kopi, merokok, ngobrol kesana kemari sampai menjelang pagi, dan ini seakan bagian dari hidupnya. Fenomena seperti itu sekarang sudah jarang ditemui. Kecenderungannya baik yang punya hajat maupun tamu undangan hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu. Perubahan yang demikian menjadikan keberadaan seni karawitan dianggap kurang mewadahi kebutuhan masyarakat pendukungnya, kurang komunikatif, dan atau istilah lain yang intinya seni karawitan sudah kurang sesuai dengan kondisi jaman sekarang. 
Pendapat yang demikian masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, karena sebagai salah satu bagian dari produk budaya, seni karawitan mempunyai hak untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun syarat untuk dikomukasikan antara lain harus nampak baik secara audio maupun visual. Jelas dengan syarat tersebut seni karawitan dapat memenuhi kriteria sebagai produk budaya yang dapat berkomunikasi kepada masyarakat. Secara visual dapat dilihat bahwa karawitan dimainkan dengan menggunakan seperangkat alat yang disebut gamelan, yang masing-masing instrumennya mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, sedangkan secara audio dapat dirasakan melalui suara merdu gamelan mengalunkan gending-gending dengan karakter yang berbeda, dapat menggambarkan serta mempengaruhi jiwa maupun perasaan seseorang, bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu masyarakat. 

B.     Definisi Karawitan
Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah (Soeroso: 1985,1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya.
Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.
Martopangrawit (1975) berpendapat, seni karawitan adalah sebagai seni suara vokal dan instrumen yang menggunakan nada-nada yang berlaras slendro dan pelog.
Ki Sindusawarna dalam buku Karawitan Jilid I berpendapat, bahwa dari segi bahasa, karawitan berasal dari kata rawita, diberi awalanka, dan akhiran anRawita artinya mengandung rawit, yang berarti halus, indah, rumit. Jadi karawitan berarti kumpulan dari segala yang mengandung kehalusan dan keindahan.
Soeroso (1975) mendefinisikan karawitan sebagai ungkapan jiwa manusia yang dilahirkan melalui nada-nada yang berlaras slendro dan pelog, diatur berirama, berbentuk, selaras, enak didengar dan enak dipandang, baik dalam vokal, instrumental, maupun garap campuran.
K.R.M.T.H. Soemodiningrat (1936) mendefinisikan karawitan dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggulo sebagai berikut:
Kang ingaran krawitan winarni
tetabuhan gangsa tuwin tembang
katrine winastan joged
kumpuling telu iku
karawitan dipun wastani
tegese ka-alusan
alus trusing kalbu
dadi tetengering bangsa
ing sadhengah bangsa mesthi handarbeni
lelangen karawitan
yang disebut karawitan adalah
bunyi dari gamelan serta tembang
yang ketiga disebut dengan joged
kesatuan dari ketiganya itu
disebut karawitan
artinya adalah kehalusan budi
merasuk ke dalam sanubari
itu semua menjadi lambang suatu bangsa
dimana setiap bangsa tentu memilikinya
berolah karawitan



C.    Perkembangan Seni Karawitan
Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Keserdehanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi jaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis seni komunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 kakawin Negarakertagama, kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterlibatan gamelan dan teater pada upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan Mataram. Pada jaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitanpun mengalami perkembangan. Disamping sebagai sarana upacara, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu seni karawitan produk kraton hanya dinikmati di lingkungan kraton. Selanjutnya karena keterbukaan kraton dan palilah Dalem, seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya.
Dari realita tersebut terlihat begitu kuatnya peran penguasa dalam menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. “Sabda pandhito ratu” merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan pada saat itu. Eksistensi dan perkembangan kesenian di masyarakat, keadaannya, penciptaannya, pelaksanaannya tergantung pada kegiatan para pendukung, dan adat kebiasaan yang berlaku. Popularitas suatu cabang seni bertalian erat dengan kegemaran orang banyak pada suatu waktu, hidup suburnya berkaitan dengan penghargaan, bantuan materiil dari penguasa (Djojokoesoemo, tt.:132-133).





BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi seni karawitan dalam kehidupan masyarakat sangat dominan. Seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan, yang bersifat sederhana, maupun rumit, antara seni karawitan dengan masyarakat ibarat sekeping uang logam, karawitan selalu ada di dalam jiwa manusia, karena dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berirama. 
Fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau berkomunikasi dengan baik. Maksud atau makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati sang pengamat apabila komunikasinya kurang efektif, hubungan antara karya dan yang menyaksikannya tidak mantap (Djelantik, 2004:56). Dalam hal ini, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik secara vertikal maupun horisontal.
Secara vertikal kemampuan seni karawitan dalam berkomunikasi terwadahi dalam bentuk gending sebagai kumpulan nada-nada yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa enak apabila didengarkan. Gending dalam seni karawitan mempunyai karakter yang berbeda, ada yang berkarakter gembira, sedih, prenes, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa gending yang dianggap keramat, dan diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Untuk membunyikannya memerlukan sesaji khusus. Kekuatan gending tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. 
Dalam konteks yang lain Judith Baker menginterpretasikan bahwa melodi musik jawa (gamelan) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta-wara, yaitu siklus kalender bulan dan sistem pengetahuan Jawa. Siklus ketukan gong dapat dibagi menjadi setengah kenong, seperempat kempul, seperdelapan kethuk, seperenambelas saron, dan sepertigapuluh bonang barung (Fananie, 2000: 134). 
Secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya.. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan. 
Untuk mendapatkan sajian yang baik, para pemain (pengrawit) saling berhubungan, berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi disini tidak secara jelas, tetapi terwujud dalam permainan instrumen sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Disamping itu, banyak terdapat cakepan dalam tembang, baik itu disajikan dengan bentuk gerong, sindhenan, bowo, atau lainnya, yang semuanya memuat ajaran luhur untuk berbuat kebaikan, meskipun banyak yang berupa sanepa, simbol.
Simbol-simbol yang ada dalam seni karawitan dapat dikatakan menyerupai filosofi manusia, maupun pola hidup manusia. Diantaranya, penyebutan nada-nada instrumen dalam laras slendro, 1 (Barang), 2 (Gulu/Jangga), 3 (Dhadha), 5 (Lima), 6 (Nem), dan 1 (Barang alit). Nama-nama tersebut penggambaran atau ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia. Selain itu dari nada-nada laras slendro (1,2,3,5,6) apabila kita jumlah menjadi 17. Jumlah tersebut sesuai dengan kewajiban hidup masyarakat penganut agama Islam, yaitu menjalankan sholat wajib sehari semalam 17 rakaat. Misteri angka 17 dalam laras slendro dapat pula dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi di Indonesia, yaitu terbebasnya negara Indonesia dari penjajah atau merdeka yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945. 
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi tidak hanya menggunakan sesuatu yang berwujud nyata, jelas artinya, tetapi dapat juga dengan bahasa simbol. Komunikasi dapat sebagai aktivitas simbolis, karena aktivitas komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan, atau simbol ‘bukan kata-kata verbal’ untuk ‘diperagakan’ (Liliweri, 2003: 5).

B.      Saran
Dari uraian dan kesimpulan di atas, maka penulis memberi saran sebagai berikut :

1.      Bagi masyarakat agar membudidayakan kesenian tradisional khususnya seni karawitan.
2.      Bagi pihak sekolah agar membudidayakan kesenian tradisional dan mengadakan eksta kulikuler kesenian khususnya pada seni karawitan.
3.      Bagi pembaca supaya menjadikan karya tulis ini sebagai pengetahuan tentang kesenian karawitan.


DAFTAR PUSTAKA

A.A.M., Djelantik, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI Bekerjasama dengan Arti, Cetakan ketiga 2004.
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, LKiS Yogyakarta. 2003.
Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2002.
Djojokoesoemo, G.P.H., Kesenian Selayang Pandang, Surakarta: Udan Mas, t.t.
Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980.
Mantle Hood, Javanese Gamelan in the World of Music, terj. Hardjo Susilo, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1958.
Martopangrawit, “Pengetahuan karawitan I”, Surakarta: ASKI Surakarta, 1975.
S. Prawiroatmojo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: P.T. Gunung Agung, 1985.
Sindusawarna, Ki., “Karawitan Jilid I” Surakarta: t.p., t.t.
Soedarso, Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia, 1976.
Soemodiningrat, K.R.M.T.H., Serat Karawitan, Sragen: Holah Karawitan, 1936.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Baru Keempat, 1990.
Soeroso, Menuju ke garapan Komposisi karawitan, Yogyakarta: AMI Yogyakarta, 1975.
Soeroso, “Pengetahuan Karawitan” Laporan Pelaksanaan Penulisan Buku/Diktat Perkuliahan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Peningkatan Pengembangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1985/1986.
Suhastjarja, R.M.A.P., et. al., “Analisa Bentuk Karawitan”, Yogyakarta: Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta, 1984/1985.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Waridi, “Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi Sosial, dan Hubungan Seni”, dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Maha Guru, A.M. Hermin Kusmayati (ed.), Yogyakarta: BP ISI, 2003.
Zainuddin Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA MN I, Surakarta: Muhammadiyah University, 2000.
http://mbyarts.wordpress.com/category/seni-karawitan/