Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan tafiq hidayah dan inayahnya kepada kita semua
sehingga kita bisa bertatap muka, berkumpul dalam dalam rangka mengenang dan
memperingati Hari Kartini. Tanpa halangan suatu apa. Alhamduillah
Sholawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Baginda
Rosullullah Muhammad SAW. Sang remormis sejati.
Pada hari ini kita berkumpul dalam rangka memperingati hari
kartini yang jatuh pada tanggal 21 April tiap tahunya. Dan perlu kita
reflesikan bersama bahwa peringatan atas pahlawan bukan sekedar kita membuat
seremonial belaka dengan symbol-simbol penghormatan tanpa nilai. Tapi justru
yang terpenting adalah bias mengambil keteladanan sosok pahlawan yang kita
hormati ini.
Sehingga yang sangat kita perlukan saat ini dalam kita meneladani
sosok kartini adalah bagaimana kita meneladani visi mimpi dan perjuangan
seorang Kartini. Namun realita sekarang ternyata peringatan dan
pengenangan terhadap pahlawan hanya pada perayaan seremonial yang
terkadang justru kurang memberi nilai kemanfaatan. Misalkan sering kita melihat
perayaan atas Hari Kartini dengan cara yang kurang etis. Selain itu
konsep emansipasi wanita sekarang ini justru banyak disalah artikan sehingga
benar Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian
emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes
ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan
untuk menjadi seperti pria yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri
dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, perempuan dan
laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang
unik, sebab itu mereja memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi.
Hadirin yang kami hormati.
Ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral dalam
masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap zaman. Baik dalam kancah
internasional maupun nasional, misalkan dalam lingkup nasional Hampir setiap
wilayah di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan atau setidaknya nilai
tradisi yang menempatkan perempuan dalam posisi sentral. misalkan pada
masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal.
Tokoh perempuan lain di nusantara yang sempat mengukir prestasi
spektakuler sebagai the change of social agent antara lain Martha Christina
Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut
Muthia dua srikandi dari Nanggroe Aceh Darussalam yang tak kenal menyerah untuk
mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda) di bumi persada, tak ketinggalan
nama Herlina Efendi yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah
RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda.
Begitupun sejarah mencatat tentang pejuang dan tokoh perempuan
ditempat dan wilayah-wilayah di nusantara.
Bapak dan Ibu …… yang kami hormati.
Sampai disini popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan
emansipasi wanita di nusantara masih selalu dibicarakan. Sosok kartini
merupakan sosok simbolis seorang yang terkekang lemah dalam tradisi dan
lingkungan yang kurang memungkinkan wanita mengambil peran dan kesetaraan.
Sehingga ketokohan kartini bias diambil contoh semangat untuk mengubah nasib
kesetaraan dan emansipasi.
Demikian yang bias saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bangunan Awet Bikin
Budaya Gotong Royong Hilang
Budaya Gotong Royong
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bangunan dengan
usia pemakaian lama atau bangunan awet dapat melenyapkan budaya gotong-royong
di masyarakat. "Bangunan-bangunan temporer yang punya masa ganti lebih
cepat, punya keunggulan melestarikan gotong royong," kata Dosen Arsitektur
Universitas Indonesia (UI), Yandi Andri Yatmo, dalam jumpa pers peraih Holcim Award,
di Jakarta, Kamis (3/5).
Yandi mengatakan masyarakat di sejumlah daerah
"Pemakaian bahan temporer seperti kayu dan bambu juga penting karena seringkali masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang bahan bangunan lebih baik dibanding arsitek," kata pengajar di Jurusan Aristektur Fakultas Teknik UI itu.
Beberapa pengetahuan lokal tentang bahan bangunan itu, menurut Yandi, seperti pemilihan pasak dibanding paku untuk menyambung kayu atau bambu. "Dengan pasak, dua bahan yang disatukan menjadi lebih kuat karena dengan paku bahan akan pecah," kata Yandi.
Yandi membantah anggapan bahwa arsitek selalu lebih pintar dari masyarakat di pedesaan dalam pengetahuan bangunan tidak dapat diterima.
"Hal yang justru harus disebarluaskan kepada masyarakat adalah kegiatan rancang bangun tidak selalu menggunakan bahan-bahan yang mahal, tapi dapat memakai bahan yang tersedia di sekitar daerah itu," kata Yandi.
Yandi menjadi pemenang dalam Holcim Asia Pasific Award karena proyek-proyek yang dikerjakannya bersama sejumlah arsitek dari UI di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih mengutamakan kearifan lokal.
"Proyek bukan sekedar pengerjaan arsitektur dalam artian fisik, melainkan lebih pada pengkonstruksian situasi di mana komunitas menjadi sadar akan potensi dan kekuatan mereka," kata Yandi.