KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU Tugas untuk Memenuhi Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik
KONFLIK DALAM
PENYELENGGARAAN PEMILU
Tugas untuk Memenuhi Mata Kuliah
Pengantar Ilmu Politik
Nama : Budi Santoso
NIM : 11311813
Jurusan : PPKN
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
PONOROGO 2012
Konsep
otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia
telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan
kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing. Dalam proses
penyelenggarannya, banyak konflik muncul tak hanya di level elit politik yang
bertarung memperebutkan kursi, melainkan juga terjadi di level horizontal yakni
antara sesama warga masyarakat. Sesungguhnya, substansi Pilkada jika kita lihat
dari perspektif komunikasi politik dapat menjadi saluran institusional konflik
politik. Dengan mekanisme yang disepakati, konflik politik bisa terwadahi
dengan baik. Namun dalam praktiknya, berbagai kesepakatan dalam mekanism
Pilkada kerapkali dilanggar sehingga konflik aktual di ruang publik yang tidak
sistemis.
Pendahuluan
Pendahuluan
Tensi politik
di wilayah yang menyelenggarakan Pilkada biasanya memanas seiring dengan
munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam
Pemilu. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets
what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang
menarik minat banyak orang. Menurut Deliar Noer, Politik merupakan aktivitas
atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi
dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.
Kegiatan
politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik. Menurut
Miriam Budiarjo, partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai
atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. (Miriam Budiarjo, 1998 :
1-2).
Pendapat
hampir serupa dikemukakan dalam buku McClosky yang memaknai term partisipasi
politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. The term
“Political Participation”Will ever to those Voluntary activities by which
members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the Formation of public policy (Herbert McClosky, 1972 : 252).
Samuel P.
Hunington dan Joan M. Nelson menggarisbawahi bahwa partisipasi adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
Efektif”. By political participation we mean activity by private citizens
designed to influence government decision making. Participation my be
individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic,
peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective (Samuel P.
Hunington dan Joan M. Nelson 1977 : 3)
Penyelenggaraan
Pilkada tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan.
Seluruh partai memiliki kepentingan, begitu pun individu kandidat yang hendak
bertarung. Mereka akan mengoptimalkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan dari
para pendukungnya masing-masing. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah
rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian,
banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu
konflik besar di daerah. Partsipasi politik warga masyarakat kerapkali juga
tidak dalam domain kesadaran pemilih rasional (rasional voter) melainkan
keasadaran palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan tradisional, sentimen
etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.
Sumber
Konflik dan Political Performance Bangsa Indonesia sudah bersepakat untuk
berdemokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah. Momentum
ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) di pemerintahan
pusat maupun daerah dalam suatu sistem demokrasi. Indikator-indikator
penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham ada lima , yakni :
Pertama,
legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili
keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan
(bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang
kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu,
baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasiah tanpa ada paksaan. Kelima,
Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti
kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers
(Bingham Powel Jr, 1982 : 3)
Kenyataan di
bebarapa Pilkada yang sudah terselenggara banyak yang tidak melahirkan
legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai hasil yang
syah, sehingga muncul gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari
pendukung calon yang kalah. Di banyak tempat, Pilkada juga tidak memiliki
sistem pengorganisaian perundingan. Buktinya seperti di kasus Pilkada Maluku
Utara dan Sulawesi Selatan, saluran perundingan tidak tertata secara baik.
Berbagai pihak otoritatif seperti KPU, DPRD juga Mentri Dalam Negeri tidak
memiliki wibawa untuk membawa konflik pasca Pilkada secara lebih elegan. Faktor
lain, masih banyaknya orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada. Hal
ini indikatornya adalah tingginya golput, bahkan di beberapa provinsi dan kota utama di Indonesia
golput ”memenangi” Pilkada. Jika golput memenangi Pilkada artinya begitu
kuatnya ketidakpercayaan dari warga masyarakat kepada sistem penyelenggaran
Pilkada akan melahirkan perbaikan nasib mereka ke depan. Faktor selanjutnya
adalah masih adanya ketidakrahasiahan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak
dasar warga negara. Kasus di beberapa Pilkada, warga memilih karena berada
dalam tekanan baik dari organisasi massa ,
organisasi keagamaan, preman politik dan lain-lain. Berbagai tekanan yang
dirasakan menyebabkan warga kehilangan kritisisme, kehilangan hak memilih
sesuai nurani dan lain-lain. Jika semua itu terjadi, maka political performance
di sebuah daerah dengan sendirinya akan buruk dan berpotensi melahirkan konflik
pasca pilkada.
Jika dilihat
dari proses penyelenggaraannya, konflik Pilkada biasanya muncul dari hal-hal
sebagai berikut : pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki
peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh
KPUD. Hal ini bisa jadi karena adanya dualisme kepemimpinan parpol, ijzazah
palsu atau tidak terpenuhinya syarat dukungan 15 persen parpol pendukung dan
lain sebagainya. Dalam konteks ini, munculnya multitafsir dan perdebatan di
seputar keputusan MK yang membolehkan adanya calon independen membuat masalah
kian komplek. Ketidaksiapan aturan main yang opersional untuk mengakomodir
calon-calon independen ini kerapkali menjadi sumber konflik yang potensial.
Kasus penolakan calon independen ini misalnya beberapa waktu lalu terjadi di
Cilacap.
Kedua,
sengketa Pilkada juga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran
pemilih. Banyak masyarakat di suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada merasa
berhak untuk menjadi pemilih, tapi kenyataannya tidak terdaftar. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadi determinan konflik.
Kasus Pilkada Kalimantan Barat misalnya, diwarnai protes ke KPUD oleh hampir
lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (
DPT). Di proses Pilkada DKI pun hal ini sempat memicu ketegangan, PKS merasa
banyak pemilih yang tidak terdaftar oleh KPUD.
Ketiga,
konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Berbagai upaya
melakukan untuk memasarkan politik (marketing of politics) untuk meraih simpati
publik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakan menyerang,
mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa
sakit hati. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator
konflik dalam Pilkada.
Keempat,
tahapan yang juga biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pilkada.
Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami
kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara,
banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya
sebagai sumber utama kekalahan. Massa
yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh
pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Selatan
dan Maluku Utara yang berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak
puas atas hasil penghitungan suara yang diduga banyak terjadi kecurangan dan
ketidakjelasan.
Kelima,
konflik juga bisa jadi muncul di proses penetapan pemenang. Kasus di beberapa
daerah, DPRD tidak mau menetapkan hasil Pilkada. Terutama, di daerah yang
mayoritas anggota DPRD-nya berasal dari kubu yang bersebrangan dengan kandidat
yang tepilih. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada,
namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca
pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005, DPRD bersikukuh
menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Begitu pun yang dulu terjadi di
kasus Pilkada Depok, Walikota Depok terpilih Nurmahmudi Ismail, berkonflik
dengan DPRD yang umumnya mendukung Badrul Kamal.
Rentetan
kasus dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung konflik bisa jadi memperlemah
political performance. Terutama, jika konflik tak bisa dikelola secara baik
oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Pilkada.
AmbiguitasKomunikasiPolitik
Satu komponen penting yang mesti disadari oleh seluruh pihak dalam penyelenggaraan Pilkada tentunya adalah komunikasi politik. Pilkada pada dasarnya memang merupakan mekanisme politik. Wadah institusionalisasi konflik melalui mekanisme politik. Berbedaan aspirasi dan perbedaan politik, seharusnya diselesaikan melalui kontestasi politik dengan mekanisme yang santun dan demokratis. Tentu saja untuk mewujudkan itu dibutuhkan variabel komunikasi politik.
Satu komponen penting yang mesti disadari oleh seluruh pihak dalam penyelenggaraan Pilkada tentunya adalah komunikasi politik. Pilkada pada dasarnya memang merupakan mekanisme politik. Wadah institusionalisasi konflik melalui mekanisme politik. Berbedaan aspirasi dan perbedaan politik, seharusnya diselesaikan melalui kontestasi politik dengan mekanisme yang santun dan demokratis. Tentu saja untuk mewujudkan itu dibutuhkan variabel komunikasi politik.
Gabriel
Almond berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang
selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kata-kata Almod sendiri :
All of the
funcions performed in the political system–political sosialization and
recrutment, intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule
application, and rule adjudication- are performed by means of communication.
(Gabriel A, Almond, 1960 : 45)
Jika Denton
menyebut faktor tersebut sebagai The Intentionality of political communication,
maka secara sederhana Brian McNair menyebutnya sebagai purposeful communication
about politics. Hal ini meliputi : pertama, segala bentuk komunikasi yang
dilancarkan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk tujuan
pencapaian tujuan-tujuan khusus. Kedua, komunikasi yang ditunjukkan kepada
aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih
(voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa .
Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang
dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi
politik lainnya di media massa .
(Brian McNair, 2004 : 4).
Jika di lihat
dari perspektif komunikasi politik, determinan konflik dalam Pilkada muncul
karena faktor-faktor berikut ini : pertama, munculnya communication gap
diantara elit partai dengan konstituennya misalnya dalam penentuan kandidat
dari salah satu partai. Partai memutuskan untuk menunjuk kandidat yang
sebenarnya tidak dikehendaki sehingga menimbulkan kekecewaan.
Kedua, di
level informations roles munculnya ketidak percayaan atas peran yang mainkan
oleh disseminator dalam hal ini ketidakpercayaan terhadap KPUD. Di beberapa
daerah muncul banyak dugaan KPUD, pihak dalam pemenangan kandidat tertentu.
Pola alur informasi yang berjalan antara KPUD dengan para kandidat dan massa pendukungnya
seringkali mengalami hambatan. Misalnya, ketidakjelasan alur informasi dalam
penetapan pemilih tetap, penetapan kandidat, penetapan jadwal kampanye dan
lain-lain.
Ketiga, tidak
relevannya equevocal Communication (lihat Janet Beavin Bavelas, 1990). Term ini
memiliki pengertian pengamasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak
langsung dan tidak lugas. Hal ini bisa saja dalam kondisi tertentu, terutama
jika berbicara pesan politik sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi jika equevocal
communication itu terjadi dalam hal-hal yang sangat membutuhkan informasi yang
jelas, maka akan dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya, dalam proses
penyampaian aturan main dan tata kelola Pilkada. Sosialisasi aturan harus
mengorientasikan pesan secara jelas, dan menimbulkan kepastian berbagain
Pilkada dapat berjalan sesuai kesepakatan bersama.
Keempat,
munculnya Pleonasme simbol. Pilkada sekali lagi merupakan mekanisme politik
yang di dalamnya menjadi arena pertarungan berbagai kelompok yang memiliki
kepentingan. DPRD sebagai simbol wakil rakyat, pemerintah sebagai simbol
pelayan masayarakat mengalami fungsi yang paradoks pada saat Pilkada. Sehinga
dengan sendirinya menurunkan kredibilitas dari apa yang mereka simbolkan.
Komunikasi politik semacam ini,meminjam istilah Novel Ali dalam bukunya
Peradaban Komunikasi Politik (1999) bisa menimbulkan pleonasme atau
kemubadziran baik bagi sumber (komunikator) maupun sasaran (komunikan).
Pleonasme memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam
pembentukan kebersamaan antara sumber dan sasaran. Pleonasme juga bisa
mendorong mencuatnya heteronomi komunikasi, dimana masyarakat bisa juga
pemerintah kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik
dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political
communication) yang sarat konflik. Muncul kejenuhan bahkan sudah sampai pada
keengganan berkomunikasi (Communication Apprehention). Communication
Apprehention ini merupakan teori James McCroskey yang manyatakan bahwa ada
saat-saat orang mengalami keengganan komunikasi yang disebabkan faktor keadaan
tertentu. Ini yang McCrosky sebutkan sebagai person-group commuication
apprehention (James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, 1998 : 102-103). Jika
hal ini terjadi, maka akan sulit enempuh sharing dan penyelesaian masalah
misalnya antara massa
pendukung kandidat dengan DPRD, pemerintah atau pun KPUD
Kelima,
konflik Pilkada juga bisa muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure). Media massa bisa secara sadar
atau tidak sadar menstimulasi konflik. Dengan berita yang bombastis, atau
political framing tendesius dan menekankan pada relasi antagonisme maka media
dapat menjadi katalisator konflik. Untuk itu diperlukan kearifan dari media massa untuk tidak hanya
terjebak pada kontroversi melainkan pada tegaknya demokrasi di daerah
penyelenggara Pilkada.
Fenomena
pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas kandidat sebenarnya telah mulai
semarak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. Bahkan, bisa kita
katakan kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden secara langsung Pemilu lalu,
merupakan keberhasilan publisitas melalui media. Bangsa Indonesia
seolah terbius dengan sosok SBY yang berhasil dikonstruksi secara apik melalui
tampilan media. Tentunya, kesuksesan inilah yang mengilhami para kontestan di
daerah untuk juga memanfaatkan media. Wajar jika perhelatan Pilkada pun memberi
rezeki nomplok bagi para pengelola media. Tim sukses ramai memasang iklan
besar-besaran dengan kontrak tayang relatif intensif. Tak ketinggalan, banyak
media yang secara sengaja menjual sebagian besar kolom, rubrik ataupun program
kepada para calon. Artinya, Pilkada turut menjadi momentum akumulasi keuntungan
bagi media.
Media di
manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan
reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman,
yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan
(constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk
sebuah “cerita” (Tuchman, 1980). Wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa
munguasai media maka akan menguasai dunia”. Dalam konteks Pilkada tentu saja,
siapa yang mengusai opini publik melalui media massa maka biasanya berpotensi besar untuk
ditasbihkan sebagai pemenang.
Proses
konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger
dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses
dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality,
symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta
yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective
reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai
“objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content),
dikategorikan sebagai simbolic reality.
Pada realitas
simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata,
konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu
(subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang
diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan
lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat .
Koran,
majalah, tabloid, radio dan TV terutama di wilayah-wilayah yang
menyelenggarakan
Pilkada, habis-habisan menjadi “ranah pertarungan” berbagai kekuatan ekonomi
dan politik. Tak jarang, di beberapa daerah muncul kecenderungan media massa lokal yang sebelum
Pilkada menampilkan diri sebagai media independen, tapi saat Pilkada berlangsung
menjadi sangat bias, memihak dan tak mengindahkan etika jurnalistik. Tak pelak
lagi, jika media massa
dalam proses mengemas Pilkada dengan cara-cara mengkonsruksi kekerasan atau
menghembus-hembuskan kabar kebencian antar sesama pendukung kandidat, maka sudah
dapat ditebak konflik Pilkada akan kian eskalatif.
Faktor keenam
yang biasanya menjadi sumber konflik adalah sifat agresi yang dominan dari elit
politik. Meminjam pendekatan teoritik dari Dominic Ifanta yang ditulisnya dalam
buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Dominic Ifanta, 1996), terdapat
dua sifat agresi yang dominan yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal.
Berdebat tentunnya bukan sesuatu yang salah, karena untuk mempertajam visi dan
misi kandidat misalnya, maka dibutuhkan sebuah perdebatan kritis untuk menguji
kredibilitas calon pemimpin. Hanya saja kesukaan berdebat dalam perspektif
Dominic yakni kesukaan berdebat tentang isu-isu yang sensitif dan
kontroversial. Sementara keagresifan verbal berhubungan dengan kebiasaan menyerang
ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal ini
juga menyertakan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional
yang menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, meyakiti perasaan dan reaksi
negatif lainnya.
Pada saat
kampanye, atau debat kandidat biasanya muncul keinginan kandidat satu
menjatuhkan legitimasi kandidat lain. Sebagian dari mereka melakukan
upaya-upaya yang tidak etis misalnya menjelek-jelekan, black campaign,
propaganda politik yang langsung menyerang kehormatan serta konsep diri orang
lain. Hal ini bisa muncul mislanya dari apa yang Roderick P Hart (1972) sebut
sebagai tipe diri noble selve. tipe yang mengagungkan ideal personal tanpa
variasi dan adaptasi. Komunikator politik tipe ini dapat kita temukan pada diri
para pemimpin yang otoratarian. Mereka selalu mengganggap dirinya superior
sehingga tidak perlu melakukan adaptasi dengan pihak atau orang lain.
Rising
Expectation
Antusiasme
masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks
sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada
merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia , di mana para kepala
daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan ‘hajatan’ baru yang akan
menentukan nasib penanganan daerah-daerah di masa mendatang. Model birokrasi
daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau
tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan
kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang
menciptakan atmosfir kesemarakan.
Sementara
secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada
penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di
tingkat nasional. Bangsa Indonesia
telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung.
Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa
sejalan dengan keinginan mereka. Untuk tetap menjaga peningkatan harapan di
masyarakat atas demokratisasi di tingkatan lokal ini maka seyogyanya Pilkada
dapat mereduksi faktor-faktor penyebab konflik sebagaimana disebutkan di atas. Ada pun solusi yang
memungkinkan ditempuh adalah :
Pertama, guna
mereduksi communication gap antara partai politik dengan konstituennya harus
ada mekanisme internal partai yang dapat menjamin demokratisasi internal
berjalan dengan baik. Calon yang diusung partai seyogyanya mewakili aspirasi
umum warga partai. Kandidat tidak serta-merta ada melainkan lahir dari sebuah
mekanisme sosialisasi, transfaransi, akuntabilitas. Seluruh elit partai ada
baiknya kembali menyadari bahwa fungsi partai politik jika merujuk pada Ramlan
Surbekti (1992) ada 7 fungsi, yakni : (a) Sosialisasi Politik, proses
pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. (b) Rekrutmen
politik, seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintah pada khususnya. (c) Partisipasi politik, kegiatan warga
negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum
dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan (d) pemandu kepentingan, (e)
Komunikasi politik, (f) pengendalian konflik, (g) Kontrol politik, kegiatan
untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu
kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah.
Salah satu
sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik. Secara umum dapat dikatakan
bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui
kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Menurut Sigmund Neumann
partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku
politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatianya
pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh
dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam
masyarakat politik yang lebih luas (Sigmund Neumann,1963 : 352).
Kedua, guna
mereduksi masalah information roles, mesti tampilnya KPUD yang independen,
professional dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki oleh KPUD guna
menghindari lemahnya kredibilitas KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada.
Sebagai penyelenggara paling tidak ada dua kunci utama kinerja KPUD. Pertama,
KPUD mesti memainkan diri sebagai orang yang terjun menangani masalah (distrub
handler). Dalam tugasnya ini, KPUD harus memilki legitimasi dan dukungan
finansial serta moral. Kedua, dalam konteks sebagai penyelenggara, KPUD juga
harus piawai memainkan resource allocator. Seluruh potensi baik internal maupun
ekternal KPUD diarahkan untuk ditempati oleh sumber daya manusia yang tepat dan
memiliki kemampuan.
Ketiga, seyogyanya menggunakan strategi equevocal communications (EC) secara tepat. Oleh karena Pilkada terkait dengan sebuah kinerja yang teknis, maka jenis-jenis EC tidaklah tepat jika dilakukan dominan dalam prosesnya. Informasi yang rinci, jelas, terarah dan transfaran lebih dibutuhkan oleh para anggota KPUD, Pemerintah juga DPRD. Namun demikian, EC juga sekali-kali dibutuhakan untuk suatu isu-isu tertentu yang belum jelas dan butuh komunikasi yang diplomatis untuk menghindarkan dari resiko yang lebih besar.
Ketiga, seyogyanya menggunakan strategi equevocal communications (EC) secara tepat. Oleh karena Pilkada terkait dengan sebuah kinerja yang teknis, maka jenis-jenis EC tidaklah tepat jika dilakukan dominan dalam prosesnya. Informasi yang rinci, jelas, terarah dan transfaran lebih dibutuhkan oleh para anggota KPUD, Pemerintah juga DPRD. Namun demikian, EC juga sekali-kali dibutuhakan untuk suatu isu-isu tertentu yang belum jelas dan butuh komunikasi yang diplomatis untuk menghindarkan dari resiko yang lebih besar.
Keempat,
untuk menghindari kemunculan fenomena pleonasme simbol atau melemahnya
simbol-simbol otoritatif kenegaraan, maka sangat diperlukan upaya meunjukkan
wibawa dari institusi pemerintah, DPRD, KPUD dan lain-lain, dengan cara
memperkuat kapasitas kelembagaan. Merujuk kepada pendapat David K. Berlo (dalam
Cangara, 2000 :102), simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan
kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis sehingga
memiliki arti. Simbol ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam
dan digunakan untuk berbagai tujuan. Menurut Alex Sobur (2001: 44-45), sifat
simbol itu mewakili sesuatu yang lain dan simbolisme dianggap sebagai usaha
yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan untuk
menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang
ilustratif, indriawi dan didaktis. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan
antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya,
makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama
penafsir.
Kemubaziran
komunikasi dan relasi antagonis dalam komunikasi politik akibat adanya harapan
yang berbeda dari simbol dan yang disimbolkan harus dijembatani dengan adanya
penguatan untuk kembali mempererat hubungan keduanya. Banyak yang berpendapat
bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh
karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama
penafsir. Pemerintah dan KPUD mestinya melakukan sosialisasi yang rasional
mengenai seluruh kebijakan yang menyangkut kebijakan publik soal Pilkada. Hal
ini penting guna meningkatkan loyalitas dan mendorong terwujudnya partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada. Dalam kapasitasnya sebagai media
penghubung, komunikasi mestinya dioptimalkan agar terjalin komunikasi timbal
balik (two way Communcation) antara masyarakat dan pemerintah.
Perlu diberi
catatan, pengharapan rakyat pada penyelenggaraan Pilkada adalah adanya
perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat
kecil menjadi pertaruhan besar. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik,
untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan
orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai
dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu (Dan Nimmo,1993). Oleh karenanya,
mustahil seorang pemimpin dapat mengkoordinasikan tata nilai politik dan
ideliasasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi
politik.
Kelima, media
juga harus memberikan kontrubusi dalam menciptakan Pilkada yang demokratis
dengan mengusung jurnalisme damai. Mengingat pentingnya Pilkada dalam proses
panjang demokratisasi di Indonesia ,
sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi
keuntungan dari perhelatan kolosal Pilkada ini. Meski pun tak bisa melepaskan
diri dari anasir kelompok kepentingan yang bertarung di Pilkada, media
seyogyanya tetap mengedepankan pertanggung jawaban sosial. Artinya media dalam
arti pers tak hanya melakukan kerja komodifikasi. Komodifikasi dalam pandangan
ekonomi-politik Vincent Mosco (1996) mengacu pada proses mentransformasikan
nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) atau nilai yang
didasarkan pasar. Dalam perannya sebagai “mata” dan “telinga”, pers seyogyanya
terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers
seperti dikemukakan Harold D. Laswell adalah sebagai Pengawas sosial (social
surveillance). Hal ini merujuk pada upaya penyebaran informasi dan iterpretasi
yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar
tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Satu di
antara pemain kunci yang sesungguhnya dapat mengawal keberhasilan
penyelenggaraan Pilkada, adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal
di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal,
jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi alat
kontrol yang cukup efektif.
Minimal ada
tiga potensi yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada.
(A) pers
lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi wilayah
liputannya. Para jurnalis lokal sangat akrab
dengan isu-isu mikro yang biasa mereka ulas secara lebih detil. Jika berbicara
reputasi media, bisa jadi media massa
nasional dianggap lebih besar. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu
di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia
untuk isu-isu lokal menjadi sangat terbatas. Kalau pun ada, hanya sebatas
isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih
mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi
keseharian kerja jurnalistik mereka.
(B) akses
informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada
dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan
key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam
mendapatkan informasi dari pihak pertama.
(C) seiring
dengan perkembangan industri media massa di Indonesia , pers
lokal banyak yang telah menerapkan sistem manajemen modern. Terlebih dengan
terhubungnya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar. Tentunya,
media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi,
distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini
merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial
dan demokratisasi di Indonesia.
Keenam, elit
politik juga harus menjaga diri untuk tidak terlampau agresif menyerang
kandidat lain, apalagi dalam konteks menjatuhkan martabat dan kehormatan mereka
dengan cara-cara yang tidak etis. Tipe noble selves seharusnya dapat tergantikan
dengan rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan ekstrim-ekstrim
ini. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap
situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan,
tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat . Dengan kepekaan
terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang
lebih efektif dan akseptansi ide-ide secara meluas.
PENUTUP
Berbicara
konflik dalam penyelenggaraan Pilkada, tentunya sangat komplek. Anggapan
sebagian besar orang bahwa konflik selalu akan melahirkan yang namanya
kehancuran dan kekacauan tidak sepenuhnya benar. Jika ada sisi negatif maka
juga ada sisi positifnya. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai
kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus
dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Konflik itu
sesuatu yang melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu
memahami dan menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik
tidak dapat dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau dieliminir sehingga tidak
menjadi tindak kekerasan.